content writer, blogger, kompasianer
Pelarian itu ada di rumahku, mengenakan pakaianku, selonjor di atas dipanku. Wajahnya tidak menampakkan penyesalan barang segaris saja. Tapi kenapa pula, pikirku, ia harus lari begini. Bukankah ia tidak menyesal, berarti ia sudah siap dengan akibat perbuatannya.
“Orang yang mengejarku tidak tahu apa yang kurasakan.” Ia menggeletak nyaman, melipat dua sebuah bantal lama, lalu membebankan kepalanya di atas batal itu.
“Makanya kau harus ceritakan, agar mereka tahu.”
“Kau mengusirku?”
“Sama sekali tidak.” Segera aku menggeleng. “Aku hanya mengkhawatirkanmu. Status buron pasti menyusahkanmu. Orang-orang akan segera tahu. Pelarianmu hanya memperjelas ketidakberanianmu untuk bertanggung jawab.”
“Dia yang tidak bertanggung jawab!” Kali ini ia membentakku.